27 Januari, Hari Holocaust Internasional dan Genosida Gaza: 'Stop The Palestinian Holocaust!'

27 Januari 2024, 15:30 WIB
Seorang pria memegang spanduk bertuliskan "Hentikan Holocaust Palestina" pada rapat umum Solidaritas dengan Palestina di Warsawa, Polandia, 18 November 2023.*/Reuters via Antara/Marek Antoni Iwanczuk /

KABAR PRIANGAN - Hari ini, 27 Januari merupakan kali ke-19 peringatan Hari Holocaust Internasional diperingati di seluruh dunia. Menurut Encyclopedia Britannica, Holocaust adalah pembunuhan sistematis yang disponsori negara terhadap jutaan orang Yahudi dan kelompok etnis lainnya oleh Nazi Jerman selama Perang Dunia II.

Tanggal 27 Januari dipilih karena merupakan tanggal pembebasan kamp konsentrasi Auschwitz di Polandia oleh Uni Soviet pada tahun 1945. Tanggal tersebut dinyatakan sebagai salah satu hari internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1 60/7 tanggal 1 November 2005 dalam rangka peringatan 60 tahun pembebasan kamp konsentrasi Auschwitz.

Baca Juga: Pernyataan Sikap Forum Pemred PRMN terhadap Situasi di Palestina: Kami Menyebutnya Penjajah dan Genosida

PBB memandang perlu untuk menetapkan peristiwa ini sebagai hari internasional untuk mengingatkan kita bahwa babak kelam dalam sejarah umat manusia tidak akan terulang kembali. Dunia tidak akan pernah melupakan penderitaan orang-orang Yahudi selama Perang Dunia II. Namun yang sama pentingnya adalah dunia ingin mencegah situasi serupa terjadi lagi.

Oleh karena itu, dunia tidak lagi menginginkan rezim atau negara yang menoleransi kekerasan atas nama apa pun untuk menghancurkan kelompok orang yang dianggap musuhnya.

Baca Juga: Video Perlakuan Israel terhadap Orang Palestina yang Ditangkap: Tangan Diikat, Mata Ditutup, Pakaian Dilucuti

Pesan ini juga disampaikan pada kesempatan Hari Holocaust oleh banyak tokoh dari seluruh dunia, termasuk Paus Fransiskus, yang pada tanggal 24 Januari 2024 lalu mengeluarkan pesan perdamaian dan seruan untuk mengakhiri kekerasan dan perang di dunia, khususnya di Ukraina, di Gaza.

“Semoga ingatan dan kutukan atas pemusnahan jutaan warga Yahudi dan kaum beragama lainnya yang terjadi mengerikan pada paruh pertama abad silam itu membantu semua orang tak melupakan bahwa logika kebencian dan kekerasan tak akan pernah bisa dibenarkan karena menyangkal rasa kemanusiaan kita,” kata Paus Fransiskus tiga hari lalu di Vatikan.

Paus menekankan bahwa dunia tidak boleh berhenti berjuang untuk mengakhiri perang di Ukraina dan Gaza. Sayangnya, ada pihak yang berusaha memonopoli hari ini demi kepentingannya sendiri. Pihak-pihak ini tidak terima bahwa kekerasan yang mereka lakukan terhadap pihak lain sebagai Holocaust, namun ketika hal tersebut dilakukan pihak lain terhadap mereka, mereka memandangnya sebagai Holocaust.

Pengenaan Standar Ganda 

Pihak-pihak ini menolak upaya untuk menyamakan apa yang terjadi di Gaza dengan Holocaust, tetapi pada saat yang bersamaan mereka menyebut jika ada yang melakukan kekerasan kepada mereka termasuk serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 mereka menyebutnya Holocaust.

Baca Juga: Liburan Keluarga Seru dan Menyenangkan! Nikmati Sajian Keindahan 5 Tempat Wisata di Tasikmalaya Berikut Ini

Mereka bukanlah orang-orang sembarangan karena mereka adalah orang-orang seperti Presiden AS Joe Biden.Biden menyebut apa yang terjadi pada Israel pada 7 Oktober 2023, ketika diserang oleh Hamas, merupakan tindakan anti-Yahudi, yang serupa dengan semangat yang mendorong Nazi membunuh orang-orang Yahudi Eropa pada Perang Dunia II dan praktik-praktik anti-Yahudi sejak ribuan tahun silam.

"Peristiwa (serangan Hamas 7 Oktober 2023) ini telah membuka kenangan menyakitkan dan bekas luka yang ditinggalkan antisemitisme dan genosida warga Yahudi selama ribuan tahun," kata Biden pada 18 Oktober 2023.

Baca Juga: YLKI Jadi Banyak Diminta Orang untuk Melunasi Utang Pinjol, Tulus Abadi: Awalnya Berita Ngawur dan Fitnah!

Lebih jauh lagi, para elite internasional, khususnya para pemimpin Israel, telah menggunakan Holocaust sebagai senjata untuk menyerang pihak lain dan menjadikannya alasan untuk melakukan perbuatan buruk terhadap pihak lain.

Salah satu contohnya adalah pada tahun 1982, Menachem Begin, perdana menteri Israel saat itu, melakukan pembenaran perang di Lebanon dengan membandingkan pemimpin Palestina Yasser Arafat dengan Adolf Hitler.

Serangan Israel ke Gaza, Kondisi Ironi

Tiga puluh tahun kemudian, pada bulan Oktober 2015, Benjamin Netanyahu, perdana menteri Israel saat ini, menuduh Imam Palestina Amin al-Husseini terobsesi dengan Hitler. Netanyahu juga menyebut Hamas sebagai "Nazi baru". Ironisnya, mereka menolak menyamakan situasi saat ini di Gaza, di mana puluhan ribu warga sipil, terutama anak-anak dan perempuan, tewas sebagai Holocaust dan genosida.

Baca Juga: Bekerja Sebulan Mulai 25 Januari, Berapa Honor KPPS Pemilu 2024? Beda Jauh Dibandingkan 2019

Faktanya, menurut organisasi kemanusiaan Save the Children, sebagaimana dimuat dalam sebuah artikel di Los Angeles Times pada 17 November 2023, jumlah anak yang terbunuh di Gaza lebih tinggi dibandingkan jumlah total konflik di dunia dalam tiga tahun terakhir.

"Pelaku genosida selalu memandang korbannya orang jahat tapi melihat dirinya sendiri sebagai orang yang benar, persis seperti cara Nazi dalam memandang Yahudi," tulis Raz Segal, profesor holocaust pada Stockton University di Amerika Serikat, dalam laman The Guardian.

Segal mengkritik standar ganda Israel dan elite Barat yang menjadi advokat mereka dalam memandang Holocaust.

Baca Juga: Simak Jadwal Babak 16 Besar Piala Asia 2024 Lengkap, Timnas Indonesia vs Australia Buka Laga Fase Gugur

Banyak intelektual Barat dan Yahudi yang berpikiran seperti Segal, dan salah satunya adalah jurnalis terkenal Amerika Masha Gessen. Gessen, yang merupakan seorang Yahudi, menyamakan Jalur Gaza dengan Getho Yahudi yang didirikan Nazi Jerman untuk mengisolasi warga Yahudi di wilayah-wilayah Eropa yang diduduki Nazi.

Esai yang Membuka Mata Dunia

Dalam sebuah esai diterbitkan New Yorker yang membuat marah Israel dan banyak tokoh Yahudi di seluruh dunia, Gessen berpendapat bahwa memandang Holocaust sebagai peristiwa tunggal atau eksklusif bukan sekadar keliru tetapi juga menghalangi umat manusia untuk mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut. Padahal, bagian ini penting untuk mencegah terjadinya genosida terulang kembali

Suara-suara kritis yang berusaha untuk melihat secara jujur semua isu yang dikemukakan oleh Gessen dan Segal, termasuk upaya untuk mengkaji secara objektif penderitaan rakyat Palestina, dibungkam atau diasingkan oleh Israel dan Barat.

Baca Juga: Libur Akhir Pekan Jelajahi Tempat Wisata di Ciamis, Dari Jakarta Kini Ada KA Pangandaran Selain KA Serayu

Gessen yang sudah diundang ke Jerman untuk menerima Anugerah Hannah Arendt pun diboikot oleh pemerintah kota Bremen yang menyelenggarakan anugerah itu.

"Banyak rabi dan intelektual Yahudi yang enggan membicarakan perdamaian karena khawatir dikucilkan dari keluarga, sinagog atau kehilangan dukungan dana dari organisasi-organisasi nirlaba," tulis Elliot Kukla, seorang rabbi atau pendeta Yahudi di Oakland, Amerika Serikat, pada 17 November 2023 dalam Los Angeles Times.

Bahkan di Amerika Serikat dan banyak negara Barat, organisasi lobi Yahudi yang sangat kuat berkuasa, aktif melabeli siapa pun yang mengkritik kebijakan pemerintah Israel dengan label anti-Yahudi.

Baca Juga: Mantan Bupati pun Persoalkan Rehab Ruang Pamengkang Pendopo Garut, Rudy Gunawan: Ruangan Masih Sangat Nyaman

Istilah Holocaust Dimanipulasi 

Upaya untuk menyamakan suara-suara kritis terhadap rezim Israel dengan kebencian terhadap Yahudi ini membuat istilah Holocaust terlihat dimanipulasi untuk tujuan koruptif yang tidak adil bagi belahan dunia lain. Situasi ini juga mendorong para intelektual untuk bersuara lebih lantang, termasuk 56 pakar Holocaust dan genosida yang menulis surat terbuka kepada Israel pada 9 Desember 2023.

"Kami para cendekiawan holocaust, genosida dan kekerasan massa, merasa terdorong untuk mengingatkan adanya bahaya genosida dalam serangan Israel di Gaza," kata 56 orang pakar dalam surat terbuka tersebut.

Baca Juga: Pj Bupati Garut Barnas Adjidin Belum Tinggal di Gedung Pendopo

Penilaian mereka diperkuat oleh Human Rights Watch yang menyimpulkan bahwa penggunaan kelaparan sebagai senjata perang oleh Israel bukan hanya kejahatan perang, namun juga kejahatan perang ala Nazi.

Suara-suara kritis yang berusaha adil ini ditolak mentah-mentah oleh Israel dan Barat, namun apa yang mereka serukan telah membuka mata dan memberikan pencerahan kepada dunia.

Baca Juga: Warga Garut Termasuk Mantan Bupati Persoalkan Rehab Pendopo: Dari Mana Uangnya?

Resonansi pesan mereka telah meluas ke mana-mana, termasuk sampai ke Mahkamah Internasional, yang beberapa jam lalu menyetujui permintaan Afrika Selatan kepada Israel untuk mencegah genosida di Gaza.

Keputusan Mahkamah Internasional bukan hanya merupakan kemenangan bagi Afrika Selatan, Palestina dan mereka yang mendukung perjuangan Palestina, namun juga merupakan kemenangan bagi mereka yang selalu menganggap persoalan Holocaust sebagai isu yang benar, adil dan berlaku universal.***

 

Editor: Arief Farihan Kamil

Tags

Terkini

Terpopuler