Eki menuturkan, dibandingkan tahun sebelumnya, kasus kekerasan terhadap anak di Kota Tasikmalaya cenderung meningkat. Tahun sebelumya angkanya belasan kasus, saat ini sudah melebihi 20 kasus. "Bahkan secara kuantitas lebih tinggi dan berpotensi ada kasus-kasus lain yang tidak dilaporkan," ujar Eki.
Pengaruh teknologi menjadi paling dominan. "Ketika kita mencoba menurunkan psikolog, ternyata hasil assesment yang dilakukan menunjukkan bahwa anak itu dipengaruhi dari paparan dari smartphone. Akibat seringnya si anak mengonsumsi tayangan-tayangan yang tidak layak untuk dilihat sehingga anak tersebut mencontoh terhadap apa yang dia lihat tadi," katanya.
Dengan kondisi tersebut, lanjut Eki, KPAD Kota Tasikmalaya meminta kepada pemerintah untuk lebih serius membuat program perlindungan terhadap anak. Ia meminta agar Pemerintah Kota Tasikmalaya mencanangkan sekolah ramah anak.
Bahkan meminta pencanangan sekolah ramah anak segera ditindaklanjuti oleh dinas terkait yaitu Dinas Pendidikan dan Dinas PPKBP3A Kota Tasikmalaya.
"Kami munculkan perlunya sekolah ramah anak karena ini menjadi sangat penting. Karena berdasarkan hasil analisisa, kekerasan terhadap anak yang terjadi di Kota Tasikmalaya rata-rata terjadi di lingkungan sekolah dan juga kebanyakan dilakukannya oleh anak-anak yang masih usia sekolah," katanya.
Perlunya membuat sekolah ramah anak, lanjut Eki, untuk membangun sekolah yang mampu memberikan keramahan, kenyamanan, dan keamanan terhadap anak yang harus dilakukan secara sistemik dan terintegrasi.
"Katanya sih memang sudah ada upaya sekolah yang dijadikan sekolah ramah anak, namun dalam implementasinya belum merepresetatifkan sekolah yang betul-betul ramah anak. Buktinya kekerasan kepada anak masih kerap terjadi dan mitigasi risiko akibat kekerasan pada anak tersebut juga belum siap di sekolah Kota Tasikmalaya," tuturnya.*