Iklim yang sesuai dengan perkembangan bakteri Leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang basah, dan pH alkalis, kondisi tersebut banyak ditemukan di negara beriklim tropis.
Kasus Leptosirosis 1.000 kali lebih banyak di temukan di negara beriklim tropis dari pada negara sub tropis dengan resiko penyakit yang lebih berat, salah satunya di Indonesia.
Angka kejadian Leptospirosis di negara tropis basah 5-20 kasus per 100 ribu jumlah penduduk per tahun. WHO mencatat, pada saat wabah terjadi lebih dari 100 orang dari kelompok beresiko tinggi diantara 100 ribu orang dapat terinfeksi.
Di Indonesia, Leptospirosis tersebar di beberapa wilayah, antara lain Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Lampung, Sumatra Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Bali, NTB, Sulawesi Utara, Sulwesi Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat.
WHO mencatat, angka kematian akibat Leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5 hingga 16,45 persen. Pada usia diatas 50 tahun, kematian mencapai 56 persen.
Leptospirosis adalah penyakit yang ditularkan melalui air. Urin dari individu yang terinfeksi bakteri leptospira merupakan sumber utama penularan. Baik pada manusia maupun pada hewan. Bakteri tersebut bergerak dengan cepat di air, menjadi faktor utama untuk menginfeksi inang baru.
Hujan deras akan membantu penyebaran bakteri tersebut, terutama saat banjir. Gerakan bakteri tidak mempengaruhi kemampuannya memasuki jaringan tubuh, tapi mendukung proses invasi dan penyebaran di dalam aliran darah.
Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada saat banjir. Banjir menyebabkan genangan air, lingkungan becek dan berlumpur, serta banyak timbunan sampah, yang menyebabkan mudahnya bakteri tersebut berkembang biak.