Dapur Rumah Batik CV Agnesa yang biasanya dipenuhi oleh asap dan aroma pembakaran lilin, para pekerja wanita yang sibuk menulis diatas kain dengan canting, para lelaki yang berpeluh keringat karena hawa panas ketika mencetak gambar, dan 70 orang pekerja di bidang lain, menjadi lenglang dan sepi.
Baca Juga: Bukan Hanya Kelapa Sawit! Bunga Ini Bisa Menjadi Bahan Baku bagi Produsen Minyak Goreng Dunia
Hanya diisi oleh sekiranya empat orang pekerja yang masih mengerjakan beberapa pesanan. Itu pun tidak setiap hari. Mereka hanya mengerjakan 10 lembar kain batik dalam satu minggu. Padahal sebelum pandemi, CV Agnesa memproduksi 25 helai kain batik tulis dan cap dalam sehari.
Rumah Batik yang biasanya dikunjungi sebagai tempat lokakarya atau field trip oleh siswa sekolah dan kelompok yang ingin mengetahui cara pembuatan batik pun ditutup. Apalagi ketika salah satu pegawainya positif Covid-19, orang enggan masuk, menginjak halamannya pun tak berani.
Hj. Enok mengaku tak ada yang bisa ia lakukan pada saat itu. Ia hanya berdoa, semoga seluruh keluarga dan pekerjanya dilindungi oleh Allah Swt, diberikan kesehatan, dan kondisi terpuruk itu segera membaik. Kala itu, ia harus merumahkan para pekerja, karena memang tidak ada pekerjaan.
Padahal niat awal ketika ia membuka perusahaan batik tersebut, tak semata untuk mencari rezeki untuk dirinya saja. Tapi juga berbagi dan turut membangun perekonomian masyarakat sekitarnya Ia juga mendedikasikan perusahaan itu untuk melestarikan batik, terutama batik tradisional. Yang diturunkan dari orang tuannya.
Para pekerja itu kemudian mencari pekerjaan lain dengan menjadi tukang cuci, asisten rumah tangga, dan penjual makanan keliling. Tak hanya para pekerja, Hj. Enok sendiri pun tak memiliki penghasilan. Sementara jumlah pengeluaran sehari-hari tetap sama. Mau tak mau, ia harus mengambil uang dari modal usaha untuk membiayai kebutuhan harian keluarganya.