Mungkinkah Penolakan Vaksinasi Dikenai Sanksi Pidana?

- 4 Mei 2021, 22:14 WIB
Dr. Hj. Yeti Kurniati, SH, MH., Dosen Fakultas Hukum dan Ketua SPM Universitas Langlangbuana Bandung
Dr. Hj. Yeti Kurniati, SH, MH., Dosen Fakultas Hukum dan Ketua SPM Universitas Langlangbuana Bandung /Dok Kabar Priangan/

 

 

KABAR PRIANGAN - Pandemi Covid-19 telah memunculkan tantangan baru untuk diatasi oleh negara-bangsa. Secara khusus, yaitu mengenai bagaimana negara merespons dan berupaya mencegah dan menghentikan penyebaran virus jauh lebih luas.

Banyak negara melakukan kebijakan yang diterapkan di dalam wilayahnya, seperti sistem kebijakan lockdown, atau kebijakan menjaga jarak sosial atau social distancing terhadap masyarakat.

Beberapa negara menunjukkan keberhasilan, tetapi ada pula yang menunjukkan kegagalan dari kebijakan ini.

Kedua kebijakan ini adalah contoh dari vaksin sosial yang dilakukan oleh pemerintah dalam menanggapi keadaan darurat ini. Namun, vaksin sosial masih perlu didukung oleh elemen lain, dan salah satu yang paling penting adalah tentang transparansi data.

Pemerintah bakal melakukan vaksinasi Covid-19 lewat dua skema. Pertama, vaksin program di mana vaksin corona akan digratiskan untuk 30 persen warga. Kedua, vaksin mandiri yang akan dijual kepada 70 persen dari sisa target penerima vaksin.

Baca Juga: Lokakarya Ke-5, CGP Luncurkan Buku 'Bunga Rampai Guru Penggerak Kabupaten Garut'

Terjadi ketimpangan antara kedua skema. Pemerintah masih memiliki keleluasaan anggaran untuk memperluas jumlah penerima vaksin gratis. Salah satu alternatifnya dengan menggunakan sisa anggaran Pemulihan Ekonomi Ekonomi (PEN) 2020 yang kemungkinan masih ada sisa.

Pasalnya, realisasi anggaran baru mencapai 62,1 persen atau Rp 431,54 triliun dari total anggaran sebesar Rp 695,2 triliun. Realisasi tercatat per 25 November 2020.

Meski penyerapan anggaran PEN 2020 relatif rendah, bukan lantas anggaran 2021 ditekan. Semestinya, anggaran khusus di sektor kesehatan diperlebar mengingat pemerintah ingin mengejar pemulihan ekonomi dari kontraksi pertumbuhan di tahun depan.

Pemulihan ekonomi, tidak akan terjadi jika sektor kesehatan belum dibenahi. Kontraksi pertumbuhan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh rendahnya kepercayaan masyarakat menengah dan atas untuk melakukan konsumsi.

Jika virus corona belum ditangani dan vaksinasi berjalan lambat maka dapat dipastikan pemulihan juga akan berjalan lambat.

Baca Juga: Sejak Pandemi Covid-19, Penumpang Angkum Cijulang-Tasikmalaya Turun Drastis

Pemerintah sejak awal telah menerbitkan beberapa peraturan Perundang-undangan terkait pencegahan dan penanganan Covid-19.

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar ditetapkan tanggal 31 Maret 2020, Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat ditetapkan tanggal 31 Maret 2020.

Kemudian, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 (ditetapkan tanggal 31 Maret 2020) yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan menjadi undang-undang, yang diundangkan tanggal 16 Mei 2020.

Pada tanggal 13 Maret 2020, telah ditetapkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Baca Juga: Garut Dapat Banprov Rp 614,693 Miliar, KPK Harus Turun Lakukan Pengawasan

Dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1) menyatakan, Gubernur dan Bupati/Wali Kota membentuk gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 daerah, dan ayat (2) dinyatakan bahwa penanganan Covid-19 di daerah dilakukan dengan memperhatikan arahan ketua pelaksana gugus tugas percepatan penanganan Covid-19.

Selanjutnya, tanggal 20 Maret 2020 ditetapkan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020. Berbagai reaksi dari Kepala Daerah dalam merespons kebijakan pemerintah pusat untuk menangani dan mencegah penyebaran Covid-19.

Belajar dari beberapa negara yang telah mulai membaik seperti Negara Taiwan, seharusnya Indonesia dan terutama Kepala Daerah dapat mengatasi penyebaran Covid-19.

Secara substansi hukum, peraturan telah cukup melandasi setiap kebijakan yang diambil Pemerintah, dan secara struktur hukum juga petugas yang bertugas dilakukan oleh aparat Kementerian/Lembaga hingga pemerintah daerah, namun secara budaya atau kesadaran hukum diperlukan pemahaman bersama terkait pentingnya kepatuhan terhadap aturan atas pencegahan Covid-19.

Memang, dengan memperhatikan prinsip-prinsip negara hukum yang dianut di Indonesia, ternyata dalam fakta pelaksanaannya masih sangat memprihatinkan sebab masih sangat jauh dari yang seharusnya.

Baca Juga: Sosok Herdy Mulyana, Guru Penggerak Nasional Yang Berjuang Mendirikan Sekolah di Kampungnya

Hal ini diakibatkan dari 2 arah yaitu dari sisi masyarakat dan dari sisi pemerintah. Ternyata kesadaran hukum masyarakat maupun pemerintah masih rendah dapat menjadi salah satu sebab belum tegaknya prinsip-prinsip negara hukum Indonesia.

Oleh karenanya, faktor-faktor yang memengaruhi kepatuhan masyarakat terhadap upaya vaksinasi Covid 19 perlu dipahami dan diterjemahkan menjadi upaya penegakan hukum yang efektif dengan pertimbangan dari hukum agama, hukum pidana, hukum administrasi negara dan kesehatan.

Berdasarkan hal itu maka dapat dipahami bahwasanya faktor ketaatan hukum pada prinsipnya didasarkan pada kesadaran masyarakat, pemerintah dan hukum itu sendiri.

Jadi jika hari ini masyarakat sangat sulit melaksanakan kebijakan terkait Covid-19, maka dapat diduga kuat ada suatu permasalahan praktis yang harus diteliti kembali oleh pemangku kebijakan untuk kemudian dilakukan penyesuaian.

Pada akhirnya terdapat suatu kenyataan di masyarakat bahwa antara kebijakan dan kebutuhan harus disesuaikan.

Baca Juga: Kejar Target, Vaksinasi Covid-19 di Pangandaran Digelar Meski Bulan Puasa

Kebijakan social distancing pada dasarnya memang sangat baik untuk mencegah penularan Covid-19, namun pertimbangan yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah adalah jaminan ketersediaan bahan pangan, serta kebutuhan sehari-hari masyarakat terutama yang tergolong dalam ekonomi menengah ke bawah sebagaimana ketentuan UU Kekarantiaan Kesehatan.

Hal tersebut juga bersesuaian dengan ketentuan Pasal 30 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular, bahwa biaya yang timbul dalam upaya penanggulangan seperlunya dibebankan pada anggaran Pemerintah Daerah.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka Pemerintah bertanggung jawab untuk menjamin pelayanan kesehatan secara gratis mulai dari tingkat perkotaan hingga pedesaan, mendistribusikan alat dan bahan yang menunjang kesehatan, mendistrtibusikan obat-obatan, memberikan fasilitas keamanan pribadi bagi tenaga kesehatan yang bertugas menangani pasien Covid-19, serta menjamin ketersediaan bahan pangan murah bagi masyarakat.

Lebih daripada itu, kesadaran dan ketaatan hukum masyarakat tekait kebijakan Covid-19 memang diperlukan agar dapat membantu Pemerintah dalam mengentaskan penularan virus Corona yang sangat meresahkan tersebut.

Berdasarkan pemaparan di atas, vaksinasi Covid-19 pada prinsipnya merupakan kewajiban hukum dan bukan merupakan sebuah hak.

Baca Juga: Polres Garut Gelar Swab Test Antigen Gratis di Pos Penyekatan

Pada prinsipnya, setiap orang berhak untuk memilih pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.

Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berbunyi “Setiap orang berhak secara mandiri bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka secara letterlijk vaksinasi Covid-19 adalah sebuah hak individu sebagai bagian pemilihan pelayanan kesehatannya sendiri.

Namun jika digunakan konstruksi hukum secara sistematis (mengacu pada sistem peraturan perundang-undangan secara komprehensif) dan kontekstual (kondisi aktual), maka hak individu terkait vaksinasi Covid-19 akan bertransformasi sebagai hak publik tatkala dihubungkan dengan kondisi darurat kesehatan dan wabah penyakit menular yang memiliki implikasi pada pemenuhan hak atas kesehatan bagi masyarakat luas yang mana konsekuensi tersebut menjadi tanggungjawab konstitusional pemerintah.

Masifisitas penyebaran Covid-19 sendiri telah ditetapkan oleh Presiden Jokowi sebagai Darurat Kesehatan Masyarakat berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020.

Baca Juga: Waspada! Kota Tasik kembali Zona Merah, Tim Pakar dan Kajian Covid-19 Ingkatkan Jangan Terlena

Secara logis, kondisi darurat kesehatan masyarakat tentunya memiliki ekses yang berbeda dengan kondisi normal.

Dalam tinjauan asas hukum lex spesialis derogat lex generali, keberlakukan hak privat dalam pemilihan pelayanan kesehatan (vaksinasi Covid-19) dalam UU Kesehatan tidak dapat diterapkan karena ada kondisi dan ketentuan khusus yang diatur dalam UU Kekarantinaan Kesehatan dan UU Wabah Penyakit Menular yang merupakan implementasi lebih konkret dari pada UU kesehatan.

UU Kekarantinaan Kesehatan dan UU Wabah Penyakit Menular mengesampingkan UU Kesehatan terkait pengaturan substansi yang memiliki koherensi.

Oleh karena itu, vaksinasi Covid-19 sebagai bagian dari penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan solusi dari wabah penyakit menular merupakan domain hak publik dalam rangka memperoleh jaminan dan pemenuhan kesehatan.

Tanpa adanya (kewajiban) vaksinasi, seseorang bisa menjadi causa bagi penularan wabah penyakit (Covid-19) dan membahayakan hak publik (masyarakat) untuk memperoleh jaminan dan pemenuhan kesehatan.

Baca Juga: Ini Penjelasan RS Jasa Kartini Terkait Tudingan Terjadinya Maladministrasi Pelayanan

Maka dari itu, ancaman sanksi pidana terkait kewajiban vaksinasi Covid-19 secara in case mengejawantah sebagai instrumen perlindungan hak publik khususnya terkait pemenuhan hak atas kesehatan dan perlindungan dari wabah penyakit menular yang memiliki basis filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam kerangka sistem hukum maupun legitimasi konstitusional.

Namun, di sisi lain jangan dikesampingkan terkait konsepsi UU Kekarantinaan Kesehatan maupun UU Wabah Penyakit Menular sebagai UU pidana administratif bukan UU pidana khusus.

Secara teoritik, UU pidana administratif meletakkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium, artinya sanksi pidana akan diterapkan jika pendekatan sanksi administratif dirasakan tidak efektif.

Memang, berdasarkan ratio legis Pasal 15 ayat (2) jo Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan memberikan konstruksi makna “Bahwa setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan (vaksinasi adalah bagian dari kekarantinaan kesehatan) dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000 (Seratus juta rupiah).

Namun sanksi pidana dalam UU pidana administratif berfungsi sebagai sarana represif-alternatif (bukan utama) untuk memperlancar penyelenggaraan birokrasi dan administrasi pemerintahan.

Oleh karena itu, penerapan sanksi pidana terkait kewajiban vaksinasi Covid-19 dalam UU Kekarantinaan Kesehatan harus diaplikasikan dan diletakkan dalam kerangka sebagai “obat terakhir” setelah sanksi adminitratif maupun tindakan preventif (sosialisasi) tidak efektif.***

Oleh: Dr. Hj. Yeti Kurniati, SH, MH., Dosen Fakultas Hukum dan Ketua SPM Universitas Langlangbuana Bandung

 

Editor: Sep Sobar


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah